3 Pelajaran Hidup yang Saya Dapatkan Dari Franz Kafka

Stevanus Setiawan
3 min readAug 14, 2020

--

Photo by Jonny McKenna on Unsplash

Tentu membaca Kafka tidak bisa hanya sekali, karena sejujurnya, sehabis saya membaca salah satu cerita pendeknya yaitu Metamorfosis. Saya kebingungan. Kepala saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Absurd. Dan jelas, tidak ada salahnya kalau kita membaca ulang Kafka, mengingat dia salah satu figur penting di dunia sastra.

Dan dari tulisan-tulisannya, tentu membuat saya penasaran, siapa Kafka? Bagaimana Kafka menjalani hidupnya? Itu kenapa, saya memutuskan untuk membaca-baca lagi tulisan-tulisan Kafka dan artikel-artikel yang menuliskan kehidupan Kafka. Inilah 3 pelajaran yang saya dapatkan dari kehidupan Kafka dan tulisan-tulisannya:

1. Temukan teman yang memercayai dirimu lebih dari dirimu sendiri

Konon katanya, Kafka tidak pernah menghargai karya-karyanya, sampai-sampai selama hidupnya, dia pernah membakar hampir seluruh karya-karyanya. Malah sebetulnya ditemukannya permintaan terakhir Kafka yaitu sebuah surat yang ditujukan untuk Max Brod, teman baiknya.

Yang suratnya dimulai dengan

My last request: Everything I leave behind me . . . in the way of diaries, manuscripts, letters (my own and others’), sketches and so on, to be burned unread.

Begitulah permintaan terakhir Kafka ke temannya, dia menyuruh Max Brod, untuk membakar tulisan-tulisannya. Namun setelah Kafka meninggal, Max Brod berpikiran lain, dia melihat talenta Kafka dan memercayai temannya. Max Brod memilih untuk tidak membakar tulisan-tulisannya, dan memilih untuk mempublikasikannya. Itu kenapa sampai sekarang, dunia punya kesempatan untuk mendengar suara Franz Kafka.

2. Tetap melawan meski segalanya terasa tidak masuk akal

Kalimat di atas akan terdengar familiar jika kalian sering membaca tulisan-tulisan Albert Camus. Dimana kalian akan pernah mendengar adanya sebuah mitos dimana seseorang yang tetap mendorong batu hingga ke atas bukit dan harus melihat batunya gelinding ke bawah, dan mendorongnya lagi, dan melihat lagi batu itu gelinding ke bawah, dan itu terjadi terus menerus. Ya, dia Sisyphus. Sisyphus tetap mendorong batunya, meski segalanya terasa tidak masuk akal. Sisyphus melawan.

Tentu saya yakin, Camus terinspirasi banyak dari Kafka. Salah satu novel Franz Kafka yang berjudul The Trial juga menjadi lampiran di esai filsafatnya yang berjudul The Myth of Sisyphus. Novel The Trial dimulai dari kalimat berikut

Someone must have slandered Josef K., for one morning, without having done anything truly wrong, he was arrested. — Franz Kafka, The Trial

Bisa kita bayangkan bagaimana bingungnya Josef K menanggapi situasi ini. Ditambah lagi di cerita ini, tidak ada satupun orang yang memberitahu apa salahnya atau kejahatan apa yang dia perbuat. Namun nyatanya, Josef K tetap melawan dengan tetap berusaha mencari penjelasan dan terus bolak-balik ke pengadilan untuk mengajukan banding tentang keputusan pengadilan. Meski segalanya terasa tidak masuk akal, bukan berarti kita menyerahkan pikiran kita begitu saja, kita harus tetap melawan. Begitulah yang saya pelajari.

3. Dedikasikan diri kita ke sesuatu bidang yang kita yakini, kita handal di sana

Untuk membayar tagihan-tagihannya dan memenuhi kebutuhannya, Kafka harus bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Entah dia menyukainya atau tidak, tapi kita semua tahu, Kafka handal di bidang apa. Menulis. Dan dedikasi Kafka dapat dilihat dari bagaimana Kafka tetap menyempatkan dirinya untuk menulis selepas bekerja, bisa dibayangkan selelah apa Kafka setelah bekerja dan masih menyempatkan diri untuk menulis. Bagi saya, itulah sebuah dedikasi.

I think we ought to read only the kind of books that wound or stab us. If the book we’re reading doesn’t wake us up with a blow to the head, what are we reading for? So that it will make us happy, as you write? Good Lord, we would be happy precisely if we had no books, and the kind of books that make us happy are the kind we could write ourselves if we had to. But we need books that affect us like a disaster, that grieve us deeply, like the death of someone we loved more than ourselves, like being banished into forests far from everyone, like a suicide. A book must be the axe for the frozen sea within us. That is my belief. — Franz Kafka

Terima kasih telah membacanya sampai selesai…

--

--

Stevanus Setiawan

Pada Medium ini, saya menulis tentang Data Science, Machine Learning, Statistik, Filosofi, dan Penulisan.